Cari

Kamis, 05 Agustus 2010

Djarum Road to campus















The spirit of Entrepreneurship
















Kelompok 5 Djarum Road to Campus Region Semarang 2010
















Calon-calon orang sukses

Analisis Gramatikal Wacana Cerkak "Kusung-kusung"

Analisis Gramatikal Wacana Cerkak Kusung-Kusung

oleh

Biya Ebi Praheto

Pendidikan Bahasa Jawa

Universitas Negeri Semarang


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antar penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa (diunduh dari http://massofa.wordpress. com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia/). Ada pula yang menyebutkan Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar (diunduh dari http://sigodang.blogspot.com/2008/11/pengertian-sintaksis.html).

Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.

Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, wacana dibedakan atas wacana tulis dan wacana lisan. Wacana lisan berbeda dari wacana tulis. Wacana lisan cenderung kurang terstruktur (gramatikal), penataan subordinatif lebih sedikit, jarang menggunakan piranti hubung (alat kohesi), frasa benda tidak panjang, dan berstruktur topik-komen. Sebaliknya wacana tulis cenderung gramatikal, penataan subordinatif lebih banyak, menggunakan piranti hubung, frasa benda panjang, dan berstruktur subjek-predikat.

Wacana tulis dapat dianalisis dari berbagai aspek seperti aspek gramatikal, aspek leksikal, maupun dari segi konteks dan inferensinya. Sebagaimana wacana tulis, cerkak yang berjudul Kusung-kusung yang diambil dari majalah Panjebar Semangat edisi 21, 26 Mei 2007 pun dapat dianalisis dari berbagai aspek tersebut. Dalam makalah ini akan lebih terperinci menganalisis wacana cerkak berjudul Kusung-kusung dari segi aspek gramatikalnya yang didalamnya terdapat analisis terkait pengacuan (referensi), penyulihan (subtitusi), pelesapan (elipsis), dan perangkaian (konjungsi).

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah analisis gramatikal wacana cerkak Kusung-kusung adalah sebagai berikut.

Bagaimana analisis aspek gramatikal wacana cerkak Kusung-kusung pada majalah Panjebar semangat Edisi 21, 26 Mei 2007?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah analisis ini adalah memaparkan analisis aspek gramatikal wacana cerkak Kusung-kusung pada majalah Panjebar semangat Edisi 21, 26 Mei 2007.

BAB II

PEMBAHASAN

Analisis aspek gramatikal wacana cerkak kusung-kusung dapat dibedakan ke dalam beberapa sub bagian yaitu pengacuan (referensi), penyulihan (subtitusi), pelesapan, dan perangkaian (konjungsi).

2.1 Pengacuan (Referensi)

2.1.1 Pengacuan Persona

(1) “Anu, Mas Nung, aku kiarep omong kowe, ning rasane kok gojag-gajeg”

(2) “Ning tenan ya, mas, yen aku kandha, mas Anung ora kena nesu!”

(3) “Emoh mas, ora sudi aku yen mbok tandhing-tandhingke”

(4) “Wis ta Tra, gage wae arep kandha apa, aku selak penasaran jare.” Genti Anung sing penasaran ndang kepengin ngerti.

Pada tuturan (1), (2), (3) terdapat bentuk pronominal 1 tunggal bentuk bebas aku mengacu pada unsure lain yang berada di dalam tuturan teks yaitu subyek Citra. Begitu pula pada tuturan (4) merupakan pronominal 1 tunggal bentuk bebas aku mengacu pada unsure lain yang berada di dalam tuturan teks yang disebutkan kemudian, yaitu Anang (orang yang menuturkan tuturan itu).

(5) “Ha kok ndadak gojag-gajeg kuwi ana apa?, angger kowe njur omong rak njur bar, wis gek omong, tak rungokne!” Kandhane Anung mepeti lungguhe kekasihe karo cengengesan.

(6) “Ha kowe njur mangsuli piye, Tra?”, Anung nanjih.

(7) “Ngaten nggih prayogi, bu. Kowe piye Tra, rak ora gela ta?”

(8) “ora, mas aku rak mung manut mas Anung. Sing apa-apa njur kusung-kusung kuwi rak panjenengan ta, mas?”

(9) “Sak karepmu, aku manut mas Anung.” Wangsulane Citra mantep.

Pada tuturan (5), (6), (7) terutama kata yang bercetak merah merupakan pengacuan pronomina persona II tunggal yang mana mengacu kepada subyek citra (kohesi gramatikal pengacuan endofora yang anaforis melalui pronominal persona II tunggal bentuk bebas). Kemudian untuk kata “panjenengan” pada (8) juga sama merupakan pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang mengacu pada subyek Anung.

Kemudian unsur –mu pada kata karepmu (9) adalah pengacuan pronominal persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang mengacu kepada subyek Anung.

(10) Anung mono asline bocah Sala, ana Yogya ndherek bulike, sing garwane ngasta ing SMA teladhan kuwi, bulike ngerti yen Anung lulus SMP bijine apik, mula banjur dijupuk, disekolahake ing Yogya.

(11) Panjenengane njur nyedhaki aku karo ndangu: “Piye mba Citra, wis wiwit nicil gawe sekripsi apa during?”

(12) Tekade Citra: “Wong aku ya ora nembung, ngapa nolak diwenehi, kamangka aku butuh? Lan bab mau ora tau dikandhakake Anung, mundhak dheweke nesu lan cemburu.

Tuturan pada (10) dan (11) terutama kata yang bercetak merah memiliki akhiran –e/-ne ‘nya’ yang mana merupakan pengacuan pronomina persona III bentuk terikat lekat kanan yang mengacu pada realitas nama yang telah disebutkan sebelumnya.

Tuturan (12) menunjukkan pemakaian pronominal persona III tunggal bentuk bebas dheweke ‘dia’ yang mengacu kepada Anung.

(13) “Piye Tra, nek sak durunge wisudha awake dhewe tunangan dhisik, biyen ibuku wis bola bali ndawuhi aku kawin, jare. Nduwe bojo kena disambi kuliah.”

Tuturan (13) pada kata awake dhewe merupakan pengacuan pronominal persona I Jamak yang mengacu pada Anung dan Citra.

(14) Yen bocah loro kuwi pingin omong-omongan serius kanggo kekarone milih ing dina libur neng papan rekreasi sing akeh pengunjunge, ….

Tuturan (14) pada kata bocah loro kuwi ‘mereka’ merupakan pengacuan pronominal persona III Jamak yang mengacu pada Anung dan Citra.

2.1.2 Pengacuan Demonstratif

(15) Saiki Anung Baskoro, ngono jeneng komplite, tetep lestari anggone bareng kuliah lan ya sajurusan karo Citra Lestari ….

(16) “olehmu arep kandha kuwi saiki apa suk emben?”, Anung selak ora sabar.

(17) Saiki ngerti, yen lungane Citra dikangseni dhosene sing ora liya Pak Andri sing wis tau dikandhakake biyen.

Pronomina demonstrative saiki pada tuturan (15), (16), (17) mengacu pada realitas waktu sekarang atau waktu kini.

(18) Ketemune padha mlebu SMP teladhan Ing kampong Kuncen dhek jaman semana.

(19) Dhek semana Citra njaluk diterke neng Mbaron, karo Anung uga dituruti.

(20) … yen lungane Citra dikangseni dhosene sing ora liya Pak Andri sing wis tau dikandhakake biyen.

(21) “Ngene mas, Pak Andri dhosene dhewe sing anyar kae, wingi nalika bubar menehi kuliah, kelas sepi, mung keri aku sing ana njero.

Tuturan (18), (19), (20) terutama pada kata atau frase yang bercetak merah merupakan pronominal demonstrative waktu yang mengacu pada realitas waktu lampau (yang agak jauh dengan waktu tuturan). Kemudian untuk tuturan (21) pada kata wingi ‘kemaren’ juga merupakan pronominal demonstrative waktu yang mengacu pada realitas waktu lampau hanya saja waktunya agak dekat dengan waktu tuturan.

(22) Dhek emben Pak Andri maringi buku biologi, ning neng njerone dislempiti dluwang sasuwek sing isine akon aku neng took buku Serba Ada.

(23) “olehmu arep kandha kuwi saiki apa suk emben?”, Anung selak ora sabar.

(24) “..., arep ndherekake ibu nyumbang. Piye nek sesuk sore wae?”. Embuh piye swara saka adoh kana.

Tuturan (22), (23), (24) terutama pada kata atau frase yang bercetak merah merupakan pronominal demonstrative waktu yang mengacu pada realitas waktu yang akan datang.

(25) “Nak Anung, disekecakke ya, ibu tak sholat dhisik, iki wis manjing maghrib.”

(26) Jam wis nuduhake jam pitu kliwat, ning nyatane Citra lan Pak Andri neng njero toko kono wis ora ana.

(27) Ing wayah sore, Citra diutus ibune sing remen mbathik iku tuku malam neng tokone Nyah Sican Nio.

Tuturan (25), (26), (27) terutama pada kata atau frase yang bercetak merah merupakan pronominal demonstrative waktu yang mengacu pada realitas rentangan waktu yang ditunjukkan secara eksplisit.

(28) “Tra, sejatine arep omong apa ta, kok ndadak ngajak dolan mrene?”.

(29) “Kaya neng ndhuwur buffet kae ana buku biologi anyar, kapan olehmu tuku?”

(30) … ning nyatane Citra lan Pak Andri neng njero toko kono wis ora ana.

Tampak pada tuturan-tuturan di atas, kata mrene pada tuturan (28) merupakan pengacuan demonstrative tempat yang mengacu pada tempat yang dekat dengan pembicara. Kemudian untuk kata kae pada tuturan (29) juga merupakan pengacuan demonstrative tempat yang mengacu pada tempat yang agak jauh dengan pembicara. Sedangkan tuturan (30) pada kata bercetak merah merupakan demonstrative tempat yang mengacu pada tempat yang jauh dari pembicara.

(31) … kekarone padha olehe ndaftarke kepengin nerusake ing perguruan tinggi UGM uga njupuk jurusan sing padha, Pendidikan.

(32) “Citra mengko sore kampus ora ana kegiatan, mula metua, tak tunggu neng toko buku Serba Ada.”

(33) “Ya wis yen kowe saguh, suk emben ibu saka sala rak rawuh tuwi aku, sesuk tak matur…”

Tampak pada tuturan-tuturan (31), (32), (33) terutama penggunaan unsur-unsur yang bercetak merah merupakan pengacuan demonstrative tempat yang mengacu pada realitas tempat (ruang) secara eksplisit tempat terjadinya peristiwa.

2.1.3 Pengacuan Komparatif

(34) Gandheng kekarone padha dene nduweni semangat sinau sing gedhe, mula nggone padha nrabuk katresnan ….

(35) Bubar adus dandan rada ora kaya yen mung kuliah, nganti sawetara.

(36) Saka panyawange citra, Anung mundhak pucet lan ora nduwe semangat kaya adate.

(37) “Wis-wis Nung lan sliramu mbak Citra, ya merga padha dene tresnamu sakloron sing gedhe kuwi, marahi atimu padha dene samar yen nganti kelangan.”

Kata ataupun frase yang bercetak merah pada tuturan (34), (35), (36), (37) adalah pengacuan komparatif yang berfungsi membandingkan antara dua perilaku, ataupun sikap seperti terlihat pada tuturan-tuturan di atas baik mengacu pada perbandingan persamaannya maupun perdedaannya.

2.2 Penyulihan (Subtitusi)

2.2.1 Subtitusi Nominal

(38) Ya wiwit Citra kandha ngono kuwi, Anung meneng-meneng tansah nggateke sikape Pak Andri dhosene kuwi marang Citra. Lan ya pancen katon yen pak dhosen ana kawigaten marang Citra kekasihe.

Terlihat pada nomor (38) satuan lingual pak Andri yang telah disebut terdahulu digantikan oleh satuan lingual pula yaitu kata pak dhosen yang disebutkan pada kalimat berikutnya.

2.2.2 Subtitusi Frasal

(39) Anung mbebaske Citra srawung, merga percaya banget karo kasetyane. Citra nampa pawewehe pak Andri, merga buku dadi sarana lancaring pasinaon supaya lulus lan engal rampung. Dene Pak andri kanthi pawewehe buku-buku marang Citra, duwe pangarep-arep gedhe, yen mengkone, suwe-suwe Citra mesthi gelem dicedhaki lan dadi pacare. Pancen, paraga telu-telune duwe karep lan rancangan dhewe-dhewe, sing siji lan sijine ora mangerti tujuane.

Tampak pada tuturan (39) kata Anung pada kalimat pertama, kata Citra pada kalimat kedua dan kata Pak Andri pada kalimat ketiga disubtitusi dengan frasa telu-telune pada kalimat keempat. Subtitusi ini termasuk jenis subtitusi frasal.

2.3 Pelesapan (Elipsis)

(40) Citra memburi nyaut andhuk mlebu kamar mandi. Bubar adus dandan rada ekstra ora kaya yen mung kuliah, nganti sawetara. Sawise banjur ngetokke motor, kanti pamit ibune yen arep nyilih buku nggone kancane.

Pada tuturan (40) terdapat lesapan satuan lingual yang berupa kata, yaitu kata Citra yang berfungsi sebagai subjek atau pelaku tindakan pada tuturan tersebut. Subyek yang sama itu dilesapkan sebanyak dua kali, yaitu sebelum kata dandan pada kalimat kedua dan setelah kata sawise pada kalimat ketiga. Pelesapan pada tuturan (40) dapat dipresentasikan menjadi (40a) dan apabila tuturan itu kembali dituliskan dalam bentuknya yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti (40b) sebagai berikut.

(40a) Citra memburi nyaut andhuk mlebu kamar mandi. Bubar adus Ø dandan rada ekstra ora kaya yen mung kuliah, nganti sawetara. Sawise Ø banjur ngetokke motor, kanti pamit ibune yen arep nyilih buku nggone kancane.

(40b) Citra memburi nyaut andhuk mlebu kamar mandi. Bubar adus Citra dandan rada ekstra ora kaya yen mung kuliah, nganti sawetara. Sawise Citra banjur ngetokke motor, kanti pamit ibune yen arep nyilih buku nggone kancane.

Tampak pada analisis tersebut bahwa dengan terjadinya peristiwa pelesapan, seperti pada (40) atau (40a), maka tuturan itu menjadi lebih efektif, efisien dan wacananya menjadi padu (kohesif).

(41) Kedaya rasa kangen sing wis mbangeti, sidane Anung ya dolan tenan neng omahe Citra. Sikape adhem, ora nggrecek kaya adate.

Pada tuturan (41) juga terdapat lesapan satuan lingual yang berupa kata, yaitu kata Anung yang berfungsi sebagai subjek atau pelaku tindakan pada tuturan tersebut. Subyek yang sama itu dilesapkan sebanyak satu kali, yaitu sebelum kata adhem pada kalimat kedua. Pelesapan pada tuturan (41) dapat dipresentasikan menjadi (41a) dan apabila tuturan itu kembali dituliskan dalam bentuknya yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti (41b) sebagai berikut.

(41a) Kedaya rasa kangen sing wis mbangeti, sidane Anung ya dolan tenan neng omahe Citra. Sikape Ø adhem, ora nggrecek kaya adate.

(41b) Kedaya rasa kangen sing wis mbangeti, sidane Anung ya dolan tenan neng omahe Citra. Sikape Anung adhem, ora nggrecek kaya adate.

Tampak pada analisis tersebut bahwa dengan terjadinya peristiwa pelesapan, seperti pada (41) atau (41a), maka tuturan itu menjadi lebih efektif, efisien dan wacananya menjadi padu (kohesif).

2.4 Perangkaian (Konjungsi)

(42) Citra lan Anung pancen wis suwe anggone padha kekancan.

(43) Sejatine wiwit isih neng SMA, kekarone wis ana rasa ketarik siji lan sijine kadi dene wanita lan priya sing tansah kepingin cecedhakan, sing wusanane nuwuhake katresnan.

(44) “Ah…, atine Citra bingung, wedi lan judheg.”

(45) …, kekarone padha olehe ndaftarake kepingin nerusake ing perguruan tinggi UGM uga njupuk jurusan sing padha, Pendidikan.

(46) Semono uga kawigatene pak Andri, dening Citra sinangga entheng, sanajan katon banget olehe ngurmati lan nggatekke minangka dhosene.

Pada kalimat (42), (43), (44), (45), dan (46) terutama kata yang bercetak merah merupakan kata konjungsi yang berfungsi menghubungkan secara koordinatif antara klausa di sebelah kirinya dan sebelah kanannya. Konjungsi ini merupakan jenis konjungsi penambahan (aditif).

(47) …, Anung ketara ning ora seneng, ning Citra ora rumangsa yen Anung ngawasi kabeh tumindake utawa memonitori terus.

(48) “Ta rak mesthi ngono kuwi yen dijak omong sing tenan, sengit aku”, kandhane Citra karo njiwit lan ngungkurake Anung.

(49) Ning tenan ya mas, yen aku kandha, mas anung ora kena nesu!”

(50) “Njur piye sabanjure, tra?” Anung ngoyak.

(51) “Wouw, yen ngono kowe wis siap pisah karo aku Tra, njur kowe gelem dipacar Pak Andri sing dhosen kuwi?”

(52) Lan ya pancen katon yen pak dhosen ana kawigaten marang Citra Kekasihe.

Pada tuturan (47) kata utawa merupakan konjungsi yang berfungsi menghubungkan dua pilihan alternative dan termasuk jenis konjungsi pilihan (alternatif). Kemudian kalimat (48), (49), (50), (51), dan (52) terutama pada kata yen merupakan kata konjungsi syarat yang berfungsi menunjukkan syarat yang terkandung dalam tuturan, sedangkan kata njur ‘kemudian’ juga merupakan konjungsi yang berfungsi sebagai petunjuk tindakan yang akan dilakukan selanjutnya dan merupakan konjungsi jenis konjungsi urutan (sekuensial).

(53) Dene Citra dhewe yak rasa, senajan nalika dikandhani mungguh kekarepane dhosene anggone tawa jasa,…

(54) Sejatine ayune Citra pancen kondhang ing kampuse, ning para jejaka kancane mung kandheg bisa nyawang, awit senajan Citra iku bocah sing supel srawung lan grapyak, ning nggon menggok neng cecaturan bab katresnan lan lekoh gage olehe nginggati.

(55) “Yoh…yoh…yoh sepisan maneh maaf ya. Dhag…” sawise nutup tilpun Citra bali lengger-lengger njur ndeleng jam tembok,…

(56) Bubar adus dandan rada ekstra ora kaya yen mung kuliah, nganti sawetara.

Pada tuturan (53) dan (54) untuk kata sanajan ‘meskipun’ merupakan konjungsi konsesif yang menghubunkan secara konsesif antara klausa sebalumnya dan sesudahnya. Kemudian untuk kata ning ‘tetapi’ merupakan konjungsi pertentangan yang menghubungkan secara pertentangan antara klausa sebelum dan sesudah kata konjungsi tersebut. Di samping itu ada juga kata lan ‘dan’ merupakan konjungsi penambahan (aditif) yang menghubungkan secara koordinatif antara klausa yang berada disebelah kirinya dengan sebelah kanannya.

Kemudian untuk tuturan (55) dan (56) pada kata yang bercetak merah sawise ‘sesudah’ dan bubar ‘setelah’ merupakan konjungsi waktu yang menghubungkan secara waktu terhadap perbuatan yang dilakukan subyek.

(57) Citra memburi nyaut andhuk mlebu kamar mandi terus adus.

(58) “Inggih bu” wangsulane Anung gela, merga kekasihe ora ana.

(59) Mas Anung ngerti, gandeng aku seneng ngoleksi buku, mula aku njupuk lima buku,…

(60) Sakjane malah pikiranmu dhewe sing ngeres kok, mas, ngrusak lan nyiksa atimu dhewe.

Kata terus pada tuturan (57) merupakan konjungsi urutan (sekuensial) yang menghubungkan antara perbuatan sebelum dan setelahnya yang dilakukan oleh subyek. Untuk kata merga ‘karena’ dan mula ‘maka’ pada (58) dan (59) merupakan konjungsi yang menghubungkan antara sebab dan akibat. Sedangkan kata malah pada (60) merupakan konjungsi kelebihan (eksesif).

Tugas Ilmu Perbandingan Bahasa Nusantara

Nama : Biya Ebi Praheto

NIM : 2102407111

Rombel : 2 (Kuliah ikut Rombel 4)


PERBANDINGAN BAHASA NUSANTARA


1. Pengertian Bahasa Kerabat

Kata kerabat (Inggris cognate) adalah kata-kata yang masih diturunkan dari sumber yang sama. Hal ini bisa terjadi dalam satu bahasa misalkan dalam bahasa Inggris terdapat kata shirt dan skirt yang diturunkan dari kata bahasa proto-Indo-Eropa *sker. Hal ini bisa pula terjadi antar bahasa, contohnya kata Melayu/Indonesia "jarum" yang masih berkerabat dengan kata Jawa dom.

Dua bahasa atau lebih dapat dikatakan kerabat apabila bahasa-bahasa tersebut berasal dari satu bahasa yang dipakai pada masa lampau. Selama pemakaiannya, semua bahasa mengalami perubahan dan bahasa bisa pecah menjadi dua atau lebih bahasa turunan. Adanya hubungan kekerabatan antara dua bahasa atau lebih ditentukan oleh adanya kesamaan bentuk dan makna.

Bentuk-bentuk kata yang sama antara berbagai bahasa dengan makna yang sama, diperkuat lagi dengan kesamaan-kesamaan unsur-unsur tata bahasa, dapat dijadikan dasar penentuan bahwa bahasa-bahasa tersebut berkerabat, yang diturunkan daru satu bahasa proto yang sama.

Kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna sebagai akibat dari perkembangan sejarah yang sama atau perkembangan dari suatu bahasa proto yang sama. Bahasa-bahasa yang mempunyai hubungan yang sama atau berasal dari suatu bahasa proto yang sama, kemudian berkembang menjadi bahasa-bahasa baru, maka dimasukkan dalam satu keluarga bahasa (language family) yang berarti bentuk kerabat.

Bahasa dianggap berkerabat dengan kelompok bahasa tertentu apabila secara relative memperlihatkan kesamaan yang besar bila dibandingkan kelompok-kelompok lainnya. Perubahan fonemis dalam sejarah bahasa-bahasa tertentu memperlihatkan pula sifat yang teratur. Semakin dalam kita menelusuri sejarah bahasa-bahasa kerabat, maka akan semakin banyak didapat kesamaan antar pokok-pokok bahasa yang dibandingkan.

2. Metode Komparatif

Linguistik Hirtoris Komparatif adalah ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu tertentu, serta mengkaji perubahan unsure bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tertentu (Keraf, 1990:22).

Tujuan dan Manfaat Linguistik Historis Komparatif, dengan memperhatikan luas lingkupnya adalah:

1. Menekankan hubungan-hubungan antara bahasa-bahasa serumpun dengan mengadakan perbandingan mengenai unsure-unsur yang menunjukkan hubungan dan tingkat kekerabatan antar bahasa-bahasa itu.

2. Mengadakan rekontruksi bahasa-bahasa yang ada dewasa ini kepada bahasa-bahasa yang dianggap lebih tua atau menemukan bahasa-bahasa proto yang menurunkan bahasa kontemporer.

3. Mengadakan pengelompokan (sub-grouping) bahasa-bahasa yang termasuk dalam suatu rumpun bahasa. Ada beberapa bahasa yang memperlihatkan keanggotannya lebih dekat satu sama lain apabila dibandingkan dengan beberapa anggota lainnya(Keraf,1990:23).

Aspek bahasa yang tepat dijadikanobjek perbandingan adalah bentuk dan makna. Kesamaan-kesamaan bentuk dan makna itu akan lebih meyakinkan, karena bantuk-bentuk tersebut memperlihatkan kesamaan semantic. Kesamaan bentuk dan makna tersebut sebagai pantulan dari sejarah warisan yang sama. Bahasa-bahasa kerabat yang berasal dari bahasa proto yang sama selalu akan memperlihatkan kesamaan sistem bunyi (fonetik) dan susunan bunyi (fonologis).

Asumsi mengenai kata kerabat yang berasal dari sebuah bahasa proto yang didasarkan pada beberapa kenyataan berikut. Pertama, ada sebuah kosa kata dari kelompok bahasa tertentu secara relative memperlihatkan kesamaan yang besar apabila dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kedua, perubahan fonetis dalam sejahar bahasa-bahasa tertentu memperlihatkan pula sifat yang terstur. Keteraturan ini oleh Grimm dinamakan Hukum Bunyi. Ketiga, semakin dalam kita menelusuri sejarah bahasa-bahasa kerabat akan semakin banyak kesamaan antara pokok-pokok yang dibandingkan.

3. Kegiatan perbandingan bahasa dengan metode komparatif oleh para ilmuwan.

Mengetahui bahwa di asia tenggara banyak bahasa yang mengandung persamaan, para ahli yang umumnya berasal dari eropa itu makin giat menyelidiki. Mula-mula mereka hanya menyelidiki bahasa-bahasa yang saling berdekatan dalam arti geografis. Misalnya bahasa indonesia/melayu, bahasa batak, minangkabau, sunda, dan lain-lain. Bahasa-bahasa tersebut mereka perbandingkan antara yang satu dengan yang lain. Mereka selidiki perbedaan dan persamaannya, mereka tentukan hukum bunyi yang berlaku dalam tiap-tiap bahasa.

Melalui cara-cara itu mereka sampai pada kesimpulan bahwa karena begitu banyak persamaan antara bahasa-bahasa tersebut maka tak boleh tidak, pastilah bahasa-bahasa tersebut mempunyai hubungan kekeluargaan dan berasal dari satu induk bahasa.

Lama-kelamaan bahasa yang mereka selidiki dan mereka perbandingkan makin banyak dan wilayahnya makin luas. Walaupun begitu, kesimpulan mereka tetap, bahkan makin mantap. Pastilah bahasa-bahasa itu mempunyai hubungan kekeluargaan dan berasal dari induk bahasa yang sama, dipergunakan secara umum oleh suatu masyarakat dalam suatu wilayah.

Wilhelm von Humboldt mengungkapkan bahwa antara bahasa-bahasa di indonesia dengan bahasa-bahasa di polinesia, kepulauan lautan teduh, terdapat banyak persamaan. Kemudian H.C. van der gabelents menemukan pula bahwa hubungan itu lebih luas lagi, yaitu meliputi bahasa-bahasa Melanesia.

Demikianlah, bahasa-bahasa yang mempunyai hubungan kekeluargaan makin lama makin luas wilayahnya dan makin banyak jumlahnya. Bahasa-bahasa di Filipina dan bahasa yang dipergunakan penduduk asli di kepulauan taiwan juga ternyata berkekeluargaan dengan bahasa-bahasa di Indonesia. Dan masih banyak lagi bahasa yang memiliki hubungan kekeluargaan di dunia ini jika di teliti dan dibandingkan antara satu bahasa dengan bahasa yang lainnya.

4. Tanah Asal Bangsa dan Bahasa Austronesia

Rumpun bahasa Austronesia adalah sebuah rumpun bahasa yang sangat luas penyebarannya di dunia. Dari Taiwan dan Hawaii di ujung utara sampai Selandia Baru (Aotearoa) di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur.

Bahasa-bahasa Austronesia adalah sebuah rumpun bahasa tersebar luas di seluruh pulau-pulau Asia Tenggara dan Pasifik , dengan beberapa anggota berbicara di benua Asia . It is on par with Bantu , Indo-European , Afro-Asiatic and Uralic as one of the best-established ancient language families. Hal ini setara dengan Bantu , Indo-Eropa , Afro-Asia dan Uralic sebagai salah satu keluarga mapan kuno bahasa terbaik. The name Austronesian comes from Latin auster "south wind" plus Greek nêsos "island". Nama Austronesia berasal dari bahasa Latin Auster "angin selatan" plus Yunani nêsos "pulau". The family is aptly named, as the vast majority of Austronesian languages are spoken on islands: only a few languages, such as Malay and the Chamic languages , are indigenous to mainland Asia. Keluarga adalah aptly bernama, karena sebagian besar bahasa Austronesia dituturkan di pulau-pulau: hanya beberapa bahasa, seperti Malaysia dan bahasa Chamic , adalah adat ke Asia daratan. Many Austronesian languages have very few speakers, but the major Austronesian languages are spoken by tens of millions of people. Banyak bahasa Austronesia beberapa pembicara sangat, tetapi bahasa Austronesia besar dituturkan oleh puluhan juta orang. Some Austronesian languages are official languages (see the list of Austronesian languages ). Otto Dempwolff , a German scholar, was the first researcher to extensively explore Austronesian using the comparative method . Beberapa bahasa Austronesia adalah bahasa resmi (lihat daftar bahasa Austronesia ). Otto Dempwolff , seorang ilmuwan Jerman, merupakan peneliti pertama secara ekstensif mengeksplorasi menggunakan Austronesia dengan metode komparatif .

There is debate among linguists as to which language family comprises the largest number of languages. Ada perdebatan di kalangan ahli bahasa sebagai rumpun bahasa yang terdiri dari jumlah terbesar bahasa. Austronesian is clearly one candidate, with 1,268 (according to Ethnologue ), or roughly one-fifth of the known languages of the world. Austronesia jelas merupakan salah satu kandidat, dengan 1.268 (menurut Ethnologue ), atau sekitar seperlima dari bahasa yang dikenal di dunia. The geographical span of the homelands of its languages is also among the widest, ranging from Madagascar to Easter Island . Hawaiian , Rapanui , and Malagasy (spoken on Madagascar ) are the geographic outliers of the Austronesian family. Cakupan geografis dari daerah asalnya bahasa adalah juga antara luas, mulai dari Madagaskar ke Pulau Paskah . Hawaii , Rapanui , dan Malagasi (berbicara di Madagaskar ) adalah outlier geografis keluarga Austronesia.

Austronesia adalah istilah mengacu pada suatu daerah yang dimana bahasa-bahasa Austronesia dituturkan, daerah tersebut mencakup oleh penduduk pulau Taiwan, kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal dari bahasa Latin austrālis yang berarti "selatan" dan bahasa Yunani nêsos (jamak: nesia) yang berarti "pulau".

Jika bahasa Jawa di Suriname dimasukkan, maka cakupan geografi juga mencakup daerah tersebut. Studi juga menunjukkan adanya masyarakat penutur bahasa mirip Melayu di pesisir Sri Langka.

Asal usul bangsa Austronesia

Untuk mendapat ide akan tanah air dari bangsa Austronesia, cendekiawan menyelidiki bukti dari arkeologi dan ilmu genetika. Penelaahan dari ilmu genetika memberikan hasil yang bertentangan. Beberapa peneliti menemukan bukti bahwa tanah air bangsa Austronesia purba berada pada benua Asia. (seperti Melton dkk., 1998), sedangkan yang lainnya mengikuti penelitian linguistik yang menyatakan bangsa Austronesia pada awalnya bermukim di Taiwan. Dari sudut pandang ilmu sejarah bahasa, bangsa Austronesia berasal dari Taiwan karena pada pulau ini dapat ditemukan pembagian terdalam bahasa-bahasa Austronesia dari rumpun bahasa Formosa asli. Bahasa-bahasa Formosa membentuk sembilan dari sepuluh cabang pada rumpun bahasa Austronesia. Comrie (2001:28) menemukan hal ini ketika ia menulis:

... Bahasa-bahasa Formosa lebih beragam satu dengan yang lainnya dibandingkan seluruh bahasa-bahasa Austronesia digabung menjadi satu sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi perpecahan genetik dalam rumpun bahasa Austronesia diantara bahasa-bahasa Taiwan dan sisanya. Memang genetik bahasa di Taiwan sangatlah beragam sehingga mungkin saja bahasa-bahasa itu terdiri dari beberapa cabang utama dari rumpun bahasa Austronesia secara kesuluruhan.

Setidaknya sejak Sapir (1968), ahli bahasa telah menerima bahwa kronologi dari penyebaran sebuah keluarga bahasa dapat ditelusuri dari area dengan keberagaman bahasa yang besar ke area dengan keberagaman bahasa yang kecil. Walau beberapa cendekiawan menduga bahwa jumlah dari cabang-cabang diantara bahasa-bahasa Taiwan mungkin lebih sedikit dari perkiraan Blust sebesar 9 (seperti Li 2006), hanya ada sedikit perdebatan diantara para ahli bahasa dengan analisis dari keberagaman dan kesimpulan yang ditarik tentang asal dan arah dari migrasi rumpun bahasa Austronesia.

Bukti dari ilmu arkeologi menyarankan bahwa bangsa Austronesia bermukim di Taiwan sekitar delapan ribu tahun yang lalu. Dari pulau ini para pelaut bermigrasi ke Filipina, Indonesia, kemudian ke Madagaskar dekat benua Afrika dan ke seluruh Samudra Pasifik, mungkin dalam beberapa tahap, ke seluruh bagian yang sekarang diliputi oleh bahasa-bahasa Austronesia. Bukti dari ilmu sejarah bahasa menyarankan bahwa migrasi ini bermula sekitar enam ribu tahun yang lalu. Namun, bukti dari ilmu sejarah bahasa tidak dapat menjembatani celah antara dua periode ini.

Pandangan bahwa bukti dari ilmu bahasa menghubungkan bahasa Austronesia purba dengan bahasa-bahasa Tiongkok-Tibet seperti yang diajukan oleh Sagart (2002), adalah pandangan minoritas seperti yang dinyatakan oleh Fox (2004:8):

Disiratkan dalam diskusi tentang pengelompokan bahasa-bahasa Austronesia adalah permufakatan bahwa tanah air bangsa Austronesia berada di Taiwan. Daerah asal ini mungkin juga meliputi kepulauan Penghu diantara Taiwan dan Cina dan bahkan mungkin juga daerah-daerah pesisir di Cina daratan, terutamanya apabila leluhur bangsa Austronesia dipandang sebagai populasi dari komunitas dialek yang tinggal pada permukiman pesisir yang terpencar.

Analisis kebahasaan dari bahasa Austronesia purba berhenti pada pesisir barat Taiwan. Bahasa-bahasa Austronesia yang pernah dituturkan di daratan Cina tidak bertahan. Satu-satunya pengecualian, bahasa Chamic, adalah migrasi yang baru terjadi setelah penyebaran bangsa Austronesia.